Cerita Dini Hari

LINDU

22 Juni 2020 pukul 02:33:08 kami harus bangun dari lelapnya tidur karena goncangan yang cukup kencang, kami tersadar bahwa itu adalah goncangan gempa, atau masyarakat jawa menyebutnya dengan nama Lindu.

Untuk memastikan hal tersebut aku langsung membuka hp untuk melihat status di whatsapp, dan ternyata betul, semua teman sudah membuat story bahwa baru saja terjadi gempa, tak berselang lama terdengar suara tiang listrik dipukul oleh warga, menandakan bahwa telah terjadi sesuatu yang mengharuskan kami untuk waspada, langsung saja aku membuka pintu dan meminta anak-anak untuk keluar rumah terlebih dahulu, dan aku masih harus menunda untuk mencari baju panjang dan jilbabku (saat tidur aku menggunakan daster)

Alhamdulillah suasana sudah kondusif, semua sudah terasa aman untuk kembali masuk ke dalam rumah, anak-anak aku minta untuk kembali tidur, sedangkan aku justru tidak dapat memejamkan kembali mata ini, rasa was-was masih ada, aku mengambil hp ku, dan langsung membuka WordPress ku, keinginan menulis justru muncul saat ini, secara spontan tanpa rancangan.

Bukan tanpa alasan kalau aku selalu merasa was-was dan khawatir saat ada gempa, sekecil apapun goncangannya, teringat dulu saat gempa tahun 2006, saat itu beberapa hari sebelumnya, tepatnya hari Rabu tanggal 24 mei 2006, aku dikaruniai putri pertamaku, sebagai seorang ibu baru pasti bahagia, walaupun semua harus aku kerjakan sendiri tanpa bantuan siapapun, maklum aku dan suami adalah perantauan yang jauh dari orangtua, namun semua kami lakukan dengan senyuman walaupun kadang merasa grogi juga saat harus mengganti popok atau membersihkan tubuh kecil putri kami, ini adalah pengalaman pertama bagi kami.

Hari Jumat Tanggal 26 mei 2006 setelah ashar, bulek (adik ibu) dari kedewan, bojonegoro, jawa timur, datang ke puskesmas tempatku melahirkan, bulek datang ditemani anak pertamanya setelah mendengar kabar aku melahirkan, lega rasanya karena akhirnya ada orangtua yang akan mendampingi kami selama beberapa waktu kedepan.

Kami bersiap untuk pulang, kondisi kami sudah baik sekali hingga bu dokter memperbolehkan kami pulang ke rumah, senang rasanya tidak lagi harus tidur di ranjang puskesmas, suamiku memanggilkan becak untuk membawaku, putriku, dan bulek, sedangkan suami dan sepupuku pulang menggunakan motor.

Sesampainya di rumah, kedatangan kami disambut hangat oleh para tetangga yang tampak sumringah dengan kedatangan anggota baru keluarga kami, mereka mengantar kami ke kamar, bertanya tentang proses melahirkan, hingga ada yang bersedia untuk mencarikan mbah dukun bayi untuk memandikan putri kami besok pagi, yang tidak kalah mengharukan adalah ada beberapa ibu-ibu tetangga yang datang dengan membawa nasi dan lauk untuk aku makan, mereka tahu aku di rumah hanya sendiri, pasti tidak masak, dan pasti belum makan.

Hari Sabtu tanggal 27 mei 2006, mendengar adzan subuh kamipun bangun, aku, bulek dan suamiku mengobrol di kamar, sedangkan sepupuku tidur di ruang tengah, depan kamar kami. Pukul 5.40 WIB bulek memintaku untuk mandi terlebih dahulu sebelum mbah dukun yang akan memandikan putriku datang, putriku saat itu masih terlelap dalam mimpi cantiknya.

Akupun beranjak ke kamar mandi, aku lihat suamiku sedang memasak nasi di dapur, setelah masuk kamar mandi, melepas stagen dan bersiap untuk mandi, tiba-tiba goncangan terasa ditempatku berdiri, aku hanya diam saja dan menganggap itu hanya gempa kecil, namun lama kelamaan goncangan tersebut semakin kencang, bertambah kencang hingga akhirnya “bruk” aku jatuh terlempar sejauh kurang lebih 3 meter keluar kamar mandi, lalu aku merasa suamiku memelukku sambil mengulang perkataan “Tidak apa-apa” sampai berkali kali, sampai tak hentinya suamiku mengucapkan Istighfar, aku masih merasakan goncangan gempa saat itu, setelah berhenti, suamiku langsung mengambilkan handuk dan daster dari jemuran, aku langsung memakainya,

Saat itu yang memenuhi fikiranku adalah putri kecilku, bagaimana dia, suamiku berusaha menenangkanku dengan mengatakan “Tidak apa-apa” lalu menuntunku keluar rumah, aku melihat bulek sudah menggendong putriku dengan gemetaran, saat kami keluar rumah, aku melihat pemandangan yang tidak biasa, lingkungan rumahku menjadi terang sekali, beberapa saat kemudian barulah kami sadar bahwa rumah di sekitar kami sudah ambruk, rata dengan tanah. Suara jeritan dan tangisan terdengar di mana-mana, saat itu yang kami fikirkan hanya keluar dari tempat itu.

Suamiku mengambil hp untuk menghubungi sepupu ibu mertuaku yang tinggal di jalan kaliurang, mencoba untuk meminta bantuan agar bersedia menampung kami untuk sementara waktu, namun sinyal hilang, tidak ada sinyal sama sekali, semua operator selular kehilangan jaringan, dengan arahan pak RT, kami dikumpulkan di lapangan, untuk mengantisipasi gempa susulan yang saat itu memang sering sekali datang.

Belum selesai sampai disitu, tiba-tiba lapangan dihebohkan dengan berita tsunami, semua warga berlarian sambil berteriak, suamiku dengan tenangnya bilang “tidak mungkin yank tsunaminya sampai sini, kamu tenang aja ya” aku mengangguk sambil mengusap air mata yang jatuh, saat itu aku hanya bisa pasrah, kondisi tubuhku tidak memungkinkan aku untul ikut berlari, jahitanku masih terasa sakit walaupun aku gunakan untuk berjalan.

Melihat kecemasanku suamiku mengatakan “aku ambil motor dulu ya, nanti kita ke rumah mama halus di jakal”, setelah berhasil mengambil motor dari dalam rumah, kamipun pergi dari situ, aku berboncengan dengan suamiku, sambil tak lupa kami membawa tas baju bayi yang memang belum kami bongkar sejak kemarin, dan putriku bersama bulek dan sepupuku, bulekku tidak mengijinkanku untuk menggendong putriku karena melihat kondisiku saat itu.

Dijalan kami melihat pemandangan yang mengerikan, banyak tubuh tergeletak tak bernyawa, dengan tubuh penuh debu dan reruntuhan bangunan, suamiku kembali menenangkanku dengan mengatakan “lihat ke aku aja ya” sampai saat itu gempa susulan masih terus datang, kami melewati puskesmas tempatku melahirkan, ruangan yang kami gunakan ambruk, rata dengan tanah. Untung saja saat itu ruangan tersebut kosong, tidak ada pasien yang melahirkan.

Jalanan jogja saat itu sangat padat, ketika sampai di jokteng (pojok beteng) wetan, lalu lintas tidak dapat bergerak, rupanya di waktu yang bersamaan masyarakat dari wilayah kaliurang turun karena menganggap gempa tersebut berasal dari letusan gunung merapi, sedangkan warga yang berada di selatang beranggapan gempa tersebut berasal dari tsunami parangtritis. Akhirnya kami memutuskan untuk mencari jalan lain, kami mengurungkan niat untuk ke rumah sepupu ibu, kami memutuskan untuk berjalan ke arah timur, hingga kami sampai klaten, tiba disana hp sepupuku mendapat sinyal, langsung menelpon paklekku dan memintanya untuk menjemput kami.

Beberapa jam kemudian paklek datang, rupanya sebelum sepupuku menelpon, paklekku berinisiatif untuk pergi ke jogja setelah tak ada satupun dari kami yang bisa dihubungi. Aku ikut bulek dan paklekku ke kedewan, sedangkan suamiku kembali ke rumah, untuk menjaga barang-barang kami, “nanti aku segera nyusul ke kedewan, kalian di sana dulu sampai semua aman ya” kata suamiku.

Aku tinggal di kedewan selama kurang lebih 2 bulan, dan kembali lagi ke jogja saat kondisi sudah mulai membaik.

Gempa membuatku menjadi orang yang lebih waspada terhadap segala kemungkinan, sama seperti pagi ini.

19 Comments

Leave a comment